Menulis dan Menghapus
Bismillah...
Beberapa tahun atau lebih tepatnya
belasan tahun lalu ketika aku masih
berstatus pengajar di salah satu sekolah dasar yang baru berdiri, adalah wajar
bagi para guru untuk mengikuti berbagai macam pelatihan untuk menunjang
performa kami sebagai tenaga pendidik. Hal ini mengingat semua mata – khususnya
para orangtua murid yang telah menitipkan anak mereka untuk dididik oleh kami
orang-orang yang asing untuk mereka serta anak mereka.– tentu akan tertuju pada
kami. Mereka tentu ingin melihat seperti apa sekolah baru ini menangani segala
hal di dalamnya.
Pelatihan yang beragam mulai dari
manajemen kelas hingga membuat perangkat pembelajaran harus kami ikuti.
Pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas terkait maupun yang secara mandiri
diselenggarakan oleh pihak yayasan sekolah menjadi menu belajar bagi para guru
saat itu. Namun yang paling berkesan bagiku sampai hari ini adalah saat aku
mengikuti pelatihan bersama lembaga yang justru tidak terkait dengan dinas
maupun yayasan sekolah. Apa sebab? Jujur saja dalam sesi pelatihan yang memakan
waktu hingga siang menjelang sore tersebut aku seperti ditampar berulang kali
agar selalu berprasangka serta berkata baik saat dipertemukan dengan orang-orang
yang mengisi hidupku, entah itu orang yang kuanggap sangat penting atau Very
Important Person (VIP) atau orang yang hanya sekadar lewat sebentar dalam
episode kehidupanku.
Dalam pelatihan tersebut kami para
peserta diminta menuliskan nama seorang murid yang kami anggap bermasalah. Aku
lalu menuliskan nama seorang anak. Anak yang cerdas sebetulnya, hanya saja
beberapa hal dalam dirinya membuatku dan teman-teman guru kewalahan.
Selesai menuliskan nama, kami
ternyata disuruh menuliskan hal-hal buruk yang berkaitan dengan nama tersebut.
Aku ingat bagaimana semangatnya saat diriku yang memang sejak lama memendam
rasa kesal akhirnya menuliskan semua poin buruk anak itu. beberapa hal memang
benar adalah prilaku buruk anak tersebut, namun beberapa hal lainnya merupakan
pandangan subjektif yang muncul dari perasaan tak suka terhadap prilaku anak
tersebut. Di kemudian hari aku jadi membenarkan bahwa terkadang ketidaksukaan
terhadap seseorang atau sesuatu membuat kita tak lagi bisa melihat dengan
jernih kebaikan seseorang atau sesuatu tersebut.
Menulis nama orang yang tak terlalu
disukai, sudah. Menuliskan hal buruk juga sudah. Ternyata hal berikutnya yang
harus dilakukan adalah menuliskan kebalikan dari semua hal buruk yang sebelumnya
telah ditulis. Jadi, jika aku telah menulis bodoh maka kali ini aku harus
menulis kebalikannya yaitu pintar. Selanjutnya kami diminta membaca nama, hal
buruk dan terakhir hal baik sebagai kebalikan dari hal buruk tadi. Di akhir
sesi menulis kami diminta untuk mencoret atau menghapus hal-hal buruk yang
telah kami tulis. Dan sang trainer meminta kami agar mulai saat itu segera
memaafkan, melupakan keburukan serta memandang nama tersebut dengan hal baik
yang tersisa di kertas.
Aku tidak ingat seberapa efektif
metode ini, akan tetapi keesokan harinya aku bertemu dengan anak yang kutulis
namanya itu dalam keadaan hati yang
lebih lapang dan karena hati telah lebih lapang aku jadi lebih sabar menghadapi
anak tersebut. Pengaruh baik yang kurasakan berikutnya adalah – entah ini
sugesti atau bukan – anak tersebut jadi berubah seperti hal baik yang kutulis
hari sebelumnya. Jika dipikirkan ulang, langkah
ini sebenarnya adalah bentuk stimulasi agar selalu mengedepankan prasangka
serta ucapan yang baik agar yang terjadi kemudian adalah hal yang baik pula. Lalu
jika bertemu hal buruk langkah ini mengajarkan untuk melupakan lalu memaafkan hal
buruk tersebut.
Bila diingat lagi, pada awal
bergabung dengan komunitas ibu profesional, aku pernah membaca penjelasan pak
Dodik soal siklus anak baik dan siklus anak nakal. Dalam web SDI As Suryaniyah ditulis bahwa:
Siklus Anak Baik ( siklus 1)
Anak Baik -> orangtua Ridho -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak makin baik.Siklus Anak nakal ( siklus 2)
Anak Nakal -> orangtua murka -> Allah Murka -> keluarga tidak berkah -> tidak bahagia -> anak makin nakalKalau tidak ada yang memutus siklus tersebut, maka akan terjadi pola anak baik akan semakin baik, anak nakal akan semakin nakal.
Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?ternyata kuncinya bukan pada anak melainkan pada ORANGTUANYA.
Anak Nakal -> ORANGTUA RIDHO ->Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak jadi baik.Berat? iya, maka nilai kemuliaannya sangat tinggi. Bagaimana caranya kita sebagai orangtua/guru bisa ridho ketika anak kita nakal?
ini kuncinya:َإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Bila kalian memaafkannya...menemuinya dan melupakan kesalahannya...maka ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 64:14).
Caranya orangtua ridho adalah menerima anak tersebut, memaafkan dan mengajaknya dialog, rangkul dengan sepenuh hati, terakhir lupakan kesalahannya.
Kemudian sebagai pengingat selanjutnya, kami menguncinya dengan pesan dari Umar bin Khattab:
Jika kalian melihat anakmu/anak didik mu berbuat baik, maka puji dan catatlah, apabila anakmu/anak didikmu berbuat buruk, tegur dan jangan pernah engkau mencatatnya.
Umar Bin Khattab
Hari ini... bertahun setelahnya, aku
menerapkan metode ini pada A maupun E saat sedang kesal pada mereka. Meski tak
seformal saat sesi pelatihan – dengan cara ditulis – aku mencoba mengganti
kata-kata buruk yang muncul dalam pikiranku dengan lawan dari kata tersebut. Walaupun
lawan kata tersebut tak terucap alias sama-sama hanya berada dalam pikiranku,
aku bisa merasakan setidaknya ini sangat mengurangi tingkat stress saat merasa
kesal ataupun marah pada mereka. Ya, aku belajar kembali tentang prasangka
baik, ucapan baik serta melupakan kesalahan.
0 komentar
Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar positifnya ya...