Sampahku, Sampahmu, Sampah kita... Kemana Mereka Pergi?
Bismillah
gunungan sampah dengan burung yang terbang di atasnya |
Bau... seperti itulah setidaknya kesan pertama yang
muncul ketika mulai memasuki komplek TPA yang kami kunjungi sepekan lalu. Masker
yang sudah kami kenakan sejak dari rumah tak sepenuhnya berhasil menghalau
aroma kurang enak yang berasal dari gunungan sisa konsumsi masyarakat yang datang dari seluruh penjuru kota dan
kemudian ditumpuk disini. Beberapa menit pertama sejak tiba... saya, suami, dan
anak-anak hanya terdiam menyaksikan pemandangan di sekitar kami. Jalan yang dibangun di dalam area TPAsepertinya ditujukan untuk memudahkan truk pengangkut mengantar dua ratusan ton (ini saya
ketahui setelah mengobrol dengan pak petugas kebersihan yang ada di sini) sampah selanjutnya mari kita sebut sisa
konsumsi warga di kota ini. Ini jelas bukan pemandangan yang ingin
sering-sering disaksikan oleh
siapapun. Tumpukan sisa konsumsi yang
menggunung, dengan burung yang tidak saya ketahui apa namanya beterbangan
diatasnya menambah kesan dingin tempat ini.
Sebenarnya ketika memasuki gerbang kami sudah disambut
bangunan sederhana di sebelah kanan yang disana tertulis sebagai ruang
administrasi. Melihat ke arah kiri giliran deretan alat berat yang menyapa
kami, saya menebak ini mungkin digunakan untuk menyodok sampah jika sudah
menggunung, entahlah... ini hanya tebakan saja. Saya mencoba mencari seseorang
yang bisa di ajak berkomunikasi namun nihil. Beberapa orang memang terlihat
lalu-lalang namun mereka tampak sibuk mengurusi gunungan yang terdiri dari
tumpukan campuran plastik dan berbagai macam barang lainnnya, saya tentu saja
sungkan menyela pekerjaan mereka. Sesekali motor bergerobak lewat dan saya
melihat sisa-sisa organik yang diangkut entah kemana.
Berikutnya tampak beberapa orang mulai menyadari kehadiran
kami. Suami yang memang mencari-cari orang yang bisa kami mintai izin untuk melihat-lihat
keadaan disana pun akhirnya ditunjukkan pada seorang bapak yang ternyata sedang
berada di dalam, di antara gunungan sampah di sana. Awalnya kami ingin menghampiri bapak tersebut kedalam komplek pembuangan ini, namun seorang petugas yang lain melarang kami karena melihat anak-anak yang ikut. Kasihan anak-anak, bau menyengat, itulah alasan sang petugas kebersihan tadi, dan setelah memperkenalkan diri serta mengemukakan tujuan kami, Bapak yang
belakangan saya ketahui bernama Kadir ini mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang saya dan teman-teman saya lontarkan.
Ah ya, saya lupa bahwa keluarga kami tidak sendirian kesini, beberapa
keluarga homeschooler lainnnya juga turut serta dan menjadikan ini sebagai
agenda outing bagi mereka.
Dari obrolan kami sore itu saya mengetahui bahwa para
petugas kebersihan ini bekerja sejak pagi hingga sore hari. Hari libur
sepertinya tak ada dalam kamus mereka, tentu saja ini karena setiap hari selalu
ada sisa konsumsi yang dikirim kesana. Saat seorang teman bertanya bagaimana
dengan kondisi kesehatan mereka yang sehari-hari bergelut dengan sisa konsumsi
masyarakat se kota di tambah bonus aroma dari plastik-plastik yang terisi sisa
makanan bercampur barang-barang lainnya lalu diikat kencang? Para petugas
kebersihan ini hanya berharap mereka tetap sehat meskipun bekerja ditempat
seperti itu.
Sepanjang perjalanan pulang saya merasakan rasa berdosa yang berlipat-lipat dibandingkan saat datang ke sana. Karena ternyata sisa konsumsi ku, kamu, kita ... ke sanalah mereka berlabuh... Bersih di rumahku, bersih di rumahmu, bersih di rumah kita... ternyata sama artinya dengan tumpukan di sana... di TPA. Mereka tak benar-benar bersih atau hilang, mereka hanya berpindah tempat. Aroma-aroma tak sedap dari sisa konsumsi dirumahku, rumahmu, rumah kita tak benar-benar pergi, mereka hanya berpindah kesana, dan memaksa para petugas kebersihan dengan upah UMR itu untuk menghirupnya. Namun mereka begitu khawatir ketika kami harus mencium aroma yang sehari-hari akrab dengan mereka tersebut. Lalu dengan tanpa berdosanya saya, kamu, kita... menyebut mereka, para petugas kebersihan ini tukang sampah. Padahal sebenarnya mereka adalah para petugas yang tak henti mengurus sisa konsumsiku, kamu, dan kita.
Sepanjang perjalanan pulang saya merasakan rasa berdosa yang berlipat-lipat dibandingkan saat datang ke sana. Karena ternyata sisa konsumsi ku, kamu, kita ... ke sanalah mereka berlabuh... Bersih di rumahku, bersih di rumahmu, bersih di rumah kita... ternyata sama artinya dengan tumpukan di sana... di TPA. Mereka tak benar-benar bersih atau hilang, mereka hanya berpindah tempat. Aroma-aroma tak sedap dari sisa konsumsi dirumahku, rumahmu, rumah kita tak benar-benar pergi, mereka hanya berpindah kesana, dan memaksa para petugas kebersihan dengan upah UMR itu untuk menghirupnya. Namun mereka begitu khawatir ketika kami harus mencium aroma yang sehari-hari akrab dengan mereka tersebut. Lalu dengan tanpa berdosanya saya, kamu, kita... menyebut mereka, para petugas kebersihan ini tukang sampah. Padahal sebenarnya mereka adalah para petugas yang tak henti mengurus sisa konsumsiku, kamu, dan kita.
0 komentar
Terimakasih sudah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar positifnya ya...